
Banjarmasin, P3H_Info — Diskusi analisa dan evaluasi Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ketenteraman, Ketertiban Umum, dan Pelindungan Masyarakat dari perspektif Hak Asasi Manusia mengemuka di lingkungan Kantor Wilayah Kementerian Hak Asasi Manusia Kalimantan Selatan, Kamis (14/08/2025).
Dalam forum yang menghadirkan Erlina, akademisi Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, disorot bahwa sejumlah ketentuan dalam Perda tersebut dinilai sudah tidak relevan baik secara sosiologis maupun yuridis.
“Banyak pasal dalam Perda ini yang sifatnya membatasi hak warga, namun tidak diimbangi dengan mekanisme perlindungan yang kuat dan responsif. Secara sosiologis, beberapa aturan juga sudah tidak sesuai dengan dinamika masyarakat Kalsel saat ini, Perda tidak memberikan alternatif solusi seperti program pemberdayaan atau jaminan sosial sebelum menerapkan sanksi, sehingga pendekatannya lebih represif daripada responsif.” ujar Erlina dalam paparannya.
Ia menekankan bahwa penerapan Perda harus mempertimbangkan prinsip-prinsip HAM, termasuk hak atas kebebasan berekspresi, hak berkumpul, dan hak mendapatkan rasa aman tanpa diskriminasi.
Menanggapi paparan tersebut, Sri Yunita, Analis Hukum Muda pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum Kalsel, menilai bahwa revisi Perda menjadi penting untuk menghindari tumpang tindih dengan peraturan yang lebih tinggi.
“Ada pasal-pasal yang potensial bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan pemerintah. Ini berisiko menimbulkan sengketa hukum di kemudian hari, seperti larangan pengobatan tradisional,” jelasnya.
Sementara itu, M. Novi Saputra, Perancang Peraturan Perundang-Undangan Muda, menambahkan bahwa evaluasi juga harus memerhatikan aspek perumusan norma.
“Banyak ketentuan yang multitafsir, sehingga rawan disalahgunakan dalam penegakan di lapangan, sebaiknya untuk sanksi pidana ditiadakan karena seharusnya mengekor kepada KUHP yang baru nanti,” tegasnya.
Dianor, Penyuluh Hukum Muda, lebih menyoroti sisi penerapan di masyarakat.
“Secara teknis, pelaksanaan Perda ini di lapangan sering menimbulkan resistensi karena tidak semua warga memahami tujuan dan batasan aturannya, walau terlihat baik-baik saja sampai sekarang,” ungkapnya.
Dari hasil diskusi, disepakati bahwa Perda Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 6 Tahun 2020 perlu segera direvisi, karena banyak ketentuan yang tidak lagi relevan baik dari segi sosiologis maupun yuridis, serta kurang memperhatikan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia.
Forum ini dihadiri oleh Perancang Peraturan Perundang-Undangan, Analis Hukum, Penyuluh Hukum pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum Kalsel, akademisi dari Fakultas Hukum ULM, dan pegiat dari Pusat Studi HAM ULM.
(Humas Kemenkum Kalsel, Kontributor: Div P3H/Anto, ed: Eko, Mahdian)




